Senin, 15 Juli 2013

>> SINDROM STEVEN JOHNSON

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Nama lain dari penyakit ini adalah sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll. Istilah eritema multiforme yang sering dipakai sebetulnya hanya merujuk pada kelainan kulitnya saja.

Bentuk klinis SSJ berat jarang terdapat pada bayi, anak kecil atau orang tua. Lelaki dilaporkan lebih sering menderita SSJ daripada perempuan. Tidak terdapat kecenderungan rasial terhadap SSJ walaupun terdapat laporan yang menghubungkan kekerapan yang lebih tinggi pada jenis HLA tertentu.

Penyebab
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti karena dapat disebabkan oleh berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering dikaitkan dengan respons imun terhadap obat.
Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit),
obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif),
makanan (coklat),
fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X),
lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan).

Keterlibatan kausal obat tersebut ditujukan terhadap obat yang diberikan sebelum masa awitan setiap gejala klinis yang dicurigai (dapat sampai 21 hari). Bila pemberian obat diteruskan dan geja]a klinis membaik maka hubungan kausal dinyatakan negatif. Bila obat yang diberikan lebih dari satu macam maka semua obat tersebut harus dicurigai mempunyai hubungan kausal.
Obat tersering yang dilaporkan sebagai penyebab adalah golongan salisilat, sulfa, penisilin, antikonvulsan dan obat antiinflamasi non-steroid.
Sindrom ini dapat muncul dengan episode tunggal namun dapat terjadi berulang dengan keadaan yang lebih buruk setelah paparan ulang terhadap obat-obatan penyebab.

PATOFISIOLOGI
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.
Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi.
Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi.
Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya.
Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.

GEJALA KLINIK
Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.
Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh.
Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama.
Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.

DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan laboratorium. Anamnesis dan pemeriksaan fisis ditujukan terhadap kelainan yang dapat sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab.
Secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris, atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam, dan hasil biopsi yang sesuai dengan SSJ .
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari hubungan dengan faktor penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum. Pemeriksaan yang rutin dilakukan diantaranya adalah pemeriksaan darah tepi (hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis, hitung eosinofil total, LED), pemeriksaan imunologik (kadar imunoglobulin, komplemen C3 dan C4, kompleks imun), biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.
Hasil biopsi dapat menunjukkan adanya nekrosis epidermis dengan keterlibatan kelenjar keringat, folikel rambut dan perubahan dermis.
Anemia dapat dijumpai pada kasus berat yang menunjukkan gejala perdarahan.
Leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, dan pada hitung jenis terdapat peninggian eosinofil.
Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun, dan dapat dideteksi adanya kompleks imun yang beredar.
Pemeriksaan histopatologik dapat ditemukan gambaran nekrosis di epidermis sebagian atau menyeluruh, edema intrasel di daerah epidermis, pembengkakan endotel, serta eritrosit yang keluar dari pembuluh darah dermis superfisial.
Pemeriksaan imunofluoresen dapat memperlihatkan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin. Untuk mendapat hasil pemeriksaan imunofluoresen yang baik maka bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru yang berumur kurang dari 24 jam.



DIAGNOSIS BANDING


Nekrosis epidermal toksik (NET) dimana manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk daripada SSJ.
Eritem Multiformis
Burns, Chemical, Burns Ocular, dan Burns Thermal
Stafilokokus Scaled SKin Syndrome
Nekrolisis Toksis Epidermis
Dermatitis Eksoliatif
Toksik Shocked Sindrom

PENATALAKSANAAN
Terapi suportif merupakan tata laksana standar pada pasien SSJ. Pasien yang umumnya datang dengan keadaan umum berat membutuhkan cairan dan elektrolit, serta kebutuhan kalori dan protein yang sesuai secara parenteral. Pemberian cairan tergantung dari luasnya kelainan kulit dan mukosa yang terlibat. Pemberian nutrisi melalui pipa nasogastrik dilakukan sampai mukosa oral kembali normal. Lesi di mukosa mulut diberikan obat pencuci mulut dan salep gliserin.
Untuk infeksi, diberikan antibiotika spektrum luas, biasanya dipergunakan gentamisin 5mg/kgBB/hari intramuskular dalam dua dosis. Pemberian antibiotik selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.
Kortikosteroid diberikan parenteral, biasanya deksametason dengan dosis awal 1 mg/kgBB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kgBB tiap 6 jam, setelah itu diturunkan berangsur-angsur dan bila mungkin diganti dengan prednison per oral. Pemberian kortikosteroid sistemik sebagai terapi SSJ masih kontroversial. Beberapa mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
Penggunaan Human Intravenous Immunoglobulin (IVIG) dapat menghentikan progresivitas penyakit SSJ dengan dosis total 3 gr/kgBB selama 3 hari berturut-turut (1 gr/kgBB/hari selama 3 hari).
Dilakukan perawatan kulit dan mata serta pemberian antibitik topikal. Kulit dapat dibersihkan dengan larutan salin fisiologis atau dikompres dengan larutan Burrow. Pada kulit atau epidermis yang mengalami nekrosis dapat dilakukan debridement. Untuk mencegah sekuele okular dapat diberikan tetes mata dengan antiseptik.
Faktor penyebab (obat atau faktor lain yang diduga sebagai penyebab) harus segera dihentikan atau diatasi. Deteksi dari penyebab yang paling umum seperti riwayat penggunaan obat-obatan terakhir, serta hubungannya dengan perkembangan penyakit terutama terhadap episode SSJ, terbukti bermanfaat dalam manajemen SSJ.
Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.
Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat(Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.
Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnyaklindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.

PROGNOSIS

Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar