Minggu, 14 Juli 2013

>> DELIRIUM

Definisi

Delirium adalah suatu sindrom dengan gejala pokok adanya gangguan kesadaran yang biasanya tampak dalam bentuk hambatan pada fungsi kognitif. Sindrom ini juga dikenali oleh nama-nama lain seperti acute confusional state, acute brain syndrome, metabolic encephalopathy, toxic psychosis, cerebral insufisiency syndrome dan acute brain failure

Epidemiologi

Prevalensi delirium cukup sulit untuk didefinisikan, pertama karena kelainan ini hanya timbul dalam waktu singkat. Pada populasi umum, sindrom ini langka karena kelainan ini timbul cepat dan terkait dengan kondisi medis serius yang memerlukan perawatan institusional. Banyak upaya yang telah dilakukan untuk memperkirakan frekuensi delirium pada pasien yang dimondokkan di rumah sakit, dengan perhatian yang diberikan secara cukup (contoh : dengan perawatan rumah). Prevalensi delirium pada kondisi medis umum dan pasien operatif diperkirakan sebesar 10% sampai 15% dan sedikit lebih tinggi pada lansia (15-20%). Jumlah kasus yang terjadi selama perawatan di rumah sakit diperkirakan hampir sama. Walaupun umur merupakan faktor risiko, delirium dapat terjadi pada semua usia, pada anak terkait dengan infeksi atau medikasi tertentu . Prosedur invasif dan ekstensif juga dapat meningkatkan risiko delirium. Pasien ICU (Intensive Care Unit) sering mengalami delirium, dengan angka kejadian mencapai 80% sebagaimana dilaporkan, mungkin merefleksikan tingkat keparahan dan kompleksnya penyakit yang mendasari. Gangguan sensoris seperti buta atau tuli, disfungsi otak yang sudah ada sebelumnya, pengobatan dan metabolisme obat yang menurun juga meningkatkan risiko delirium.

Etiologi
Delirium dapat ditimbulkan oleh penyakit apapun yang mengganggu fungsi sistem saraf pusat baik secara langsung maupun tak langsung. Daftar etiologi yang potensial ini sangat banyak, bahkan mendekati tak terbatas, walaupun identifikasi penyebab penting untuk diagnosis dan terapi. Menyortir kemungkinan penyebab delirium diperlukan karena menangani penyebabnya dapat membantu memulihkan disfungi yang terjadi pada sistem saraf pusat. Lebih jauh lagi, beberapa penyebab mungkin terjadi karena terapi (iatrogenic)- sebagai contoh, berbagai obat yang diresepkan dapat menyebabkan delirium. Beberapa penyebab delirium dapat tersamarkan oleh penggunaan obat tertentu, dan beberapa lainnya juga dapat disebabkan karena toksin walaupun delirium yang terjadi karena sebab ini tergolong langka.Delirium juga mempengaruhi prognosis, yang mengakibatkan meningkatnya jumlah hari rawat inap, morbiditas dan mortalitas yang lebih besar daripada pasien dengan kondisi sama yang tidak mengalami delirium. Namun sayangnya, delirium seringkali tidak disadari. Hasil konvensi memisahkan penyebab delirium menjadi delirium yang terjadi karena kondisi medis umum, delirium imbas obat, delirium multifaktorial, dan delirium yang tidak spesifik. Dengan dikelompokkannya faktor etiologi delirium ke dalam kategori tersebut diharapkan dapat menyederhanakan proses pencarian penyebab episode delirium.
Berbagai kombinasi penyakit medis dapat menyebabkan delirium. Uraian berikut ini diharapkan dapat membantu klinisi memahami dan memfasilitasi proses penegakan diagnosis. Penelusuran penyakit yang terkait dengan delirium dapat dimulai dari meninjau kelainan spesifik pada kondisi medis umum. Walaupun kelainan tersebut diduga menyebabkan delirium, namun mekanisme patofisiologinya masih belum diketahui secara pasti. Kegagalan organ penting (seperti jantung, paru, hepar, dan ginjal) sering dikaitkan dengan perubahan kognitif dan persepsi, bila terdapat kegagalan suatu organ, biasanya juga akan diikuti gangguan pada organ lainnya. Ensefalopati hepatik, menunjukkan dampak dari kebiasaan meminum alkohol atau hepatitis terhadap hepar, yang mengakibatkan delirium dengan gambaran khas dan terapi terhadap penyebabnya dapat meminimalkan kegagalan fungsi hati dan fungsi otak. Kerusakan organ dapat mempengaruhi delirium yang terjadi, sebagai contoh, pasien dengan hipoksia karena penyakit paru kronis lebih tahan terhadap penurunan saturasi oksigen terkait kegagalan fungsi paru akut. Mekanisme kompensasi yang mungkin berperan dalam terjadina toleransi pada perubahan kronis masih belum diketahui. Penyakit terminal, tanpa mempertimbangkan penyebabnya, juga dapat menyebabkan delirium. Kekurangan cairan (contoh dehidrasi) dan ketidakseimbangan elektrolit (contoh hiponatremi) dapat mengakibatkan difungsi sistem saraf pusat akut yang hanya dapat diperbaiki bila homeostatis telah normal kembali, walaupun kembalinya fungsi kognitif normal mungkin tertunda dibandingkan koreksi homeostatis.Beberapa infeksi tertentu juga dapat menyebabkan delirium, baik secara langsung (septikemia) atau tidak langsung (hipoksia terkait pneumonia). Delirium dapat juga terjadi karena proses intrakranial, bahkan pada keadaan di mana tidak ada lateralisasi atau tanda dan gejala neurologis lain. Sebagai contoh, suatu kejang dapat diikuti oleh disorientasi yang peristen dan kesulitan persepsi. Traumatic Brain Injury (TBI) juga sering diasosiasikan dengan delirium pada fase akut pemulihan. Kesimpulannya, setiap dan semua tindakan medis dapat meningkatkan risiko terjadinya delirium. Dalam salah satu fase pemulihan dari agen anestesi, terdapat suatu fase gangguan kognisi, pada beberapa pasien, periode ini dapat lebih panjang.Ketika dikaitkan dengan agitasi, perawatan kritis menjadi sulit dan pemulihan dapat tertunda. Pada kasus lain, delirium dapat terjadi dalam hitungan jam sampai hari akibat dari komplikasi prosedur medis seperti infeksi atau ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
Tipe Delirium secara UmumDelirium yang disebabkan kondisi medis umum
Delirium terkait penggunaan zat tertentu
Intoksikasi
Reaksi putus obat (withdrawal)
Delirium dengan berbagai etiologi
Delirium yang tidak spesifik

Beragam zat terkait dengan delirium. Sebagai pedoman, obat atau toksin yang dapat mempengaruhi sistem saraf pusat lebih berisiko menyebabkan delirium dari obat yang hanya bekerja di perifer. Agen anestesi seperti yang sudah dibicarakan diatas, diduga merupakan penyebab delirium postoperasi. Lebih umum lagi, obat hipnotik sedatif seperti benzodiazepine, dan obat lainnya terkait juga dengan delirium karena intoksikasinya. Obat hipnotik sedatif dan alkohol juga terkait dengan delirium saat penghentian penggunaanya. Tremen Delirium merupakan contoh kegagalan fungsi otak akut terkait dengan penghentian penggunaan alkohol yang sering terjadi pada kondisi medis dan operatif. Lebih jauh lagi, beberapa kelainan patologis erat kaitannya dengan penggunaan alkohol (kegagalan fungsi hepar, kejang, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dan trauma yang mungkin memerlukan tindakan operatif) yang berarti pada pasien dengan delirium yang diduga akibat reaksi penghentian konsumsi alkohol perlu evaluasi medis menyeluruh untuk menemukan penyebab delirium. Obat dengan efek antikolinergik juga dapat meningkatkan risiko delirium, contohnya antibiotik. Banyak obat yang mempunyai elemen antikolinergik. Sebagai contoh, sediaan untuk infeksi saluran pernapasan atas seperti dyphenhidramine dapat menyebabkan delirium, kemungkinan karena efek antikolinergiknya. Antihistamin yang relatif spesifik yang digunakan untuk mengatasi penyakit saluran pencernaan (H2 antagonist) juga dapat menyebabkan delirium. Herbal, contohnya yang terbuat dari jimsonweed atau ma huang juga dapat mneyebabkan delirium. Setiap penyalahgunaan obat apapun juga dapat dikaitkan dengan terjadinya delirium, kebanyakan karena intoksikasi. Paparan terhadap bermacam toksin juga erat kaitannya dengan delirium. Paparan toksin seperti pada kecelakaan di rumah atau tempat kerja, ataupun paparan kronis berulang secara sengaja maupun tak sengaja, ataupun percobaan bunuh diri harus dikonsulkan pada seorang ahli toksikologi.
Contoh obat dan zat lain yang terkait dengan deliriumAlkohol
Analgesik (contoh : Obat Anti Inflamasi Non Steroid OAINS)
Obat anestesi
Antikolinergik (contoh antidepresan trisiklik)
Antikonvulsan
Antihipertensi (contoh beta blocker)
Tanaman (contoh morning glory)
Kortikosteroid
Herbal (contoh ma huang)
Lithium
Logam dan substrat terkait (contoh merkuri)
Relaksan otot (contoh cyclobenzaprine)
Opioid
Larutan organik (contoh bensin)
Insektisida organofosfat
Obat hipnotik sedative

Deskripsi ini secara implisit menyatakan bahwa pasien delirium bisa jadi mempunyai banyak kondisi medis dan obat yang dapat menjadi penyebab deliriumnya. Sekarang ini, metodologi untuk mencari penyebab primer delirium masih sulit dilakukan walaupun bukan tidak mungkin. Bisa saja berbagai faktor tersebut secara bersamaan menimbulkan sindrom. Bila tidak, akan sulit bagi klinisi untuk mengidentifikasi dan menentukan etiologi yang relevan dengan delirium yang tidak spesifik.
Walaupun patogenesis delirium belum diketahui secara pasti, beberapa teori yang diungkapkan oleh beberapa pakar tetap penting untuk diperhatikan . PerubahanElectroencephalographic (EEG) (-8 kali per detik, lebih lambat dari fungsi sistem saraf pusat normal) sering terjadi pada delirium yang terkait dengan disfungsi korteks, hal ini disebabkan karena EEG mengukur aktivitas listrik di korteks. Struktur subkorteks (formasi retikuler, thalamus) mengendalikan aktivitas listrik di korteks sehingga struktur ini juga erat kaitannya dengan delirium. Disaritmia korteks mengindikasikan adanya defisiensi substrat tertentu, umumnya karena paparan abnormal glukosa dan oksigen dalam kadar tertentu. Sayangnya, tidak semua pasien dengan delirium menunjukkan adanya perlambatan EEG, dan bukti adanya defisiensi substrat tertentu tidak dapat ditemukan pada sebagian besar kasus.Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit mengganggu kemampuan sel saraf untuk menginisiasi aktivitas listrik. Menurunnya aktivitas listrik antar sel saraf akan menyebabkan melambatnya gelombang EEG. Kemungkinan, semua delirium mencerminkan menurunnya aktivitas listrik antar sel saraf, walaupun sifat-sifat dari sindrom ini mengindikasikan beberapa sistem saraf lebih rentan dari yang lain. Jalur yang melibatkan neurostransmiter asetilkolin, serotonin, dopamine, dan histamine relatif lebih rentan. Keterlibatan neurotransmitter ini kontras dengan penelitian yang berkesimpulan bahwa γ-amino butyric acid (GABA) dan glutamat mungkin terlibat dalam patofisiologi delirium. Observasi yang menyatakan toksin dapat menyebabkan delirium menyarankan bahwa toksin yang diproduksi oleh organ yang rusak harus diidentifikasi.Dan, teori neurohormonal yang didasarkan pada kenyataan di mana substansi tertentu seperti kortikosteroid mempengaruhi fungsi sistem saraf pusat. Pengetahuan yang cukup mengenai teori patofisiologi delirium ini harus tetap dikembangkan sampai ditemukan mekanisme dan jalur yang berperan dalam timbulnya delirium, hal ini merupakan tugas yang cukup sulit tetapi harus dicapai.

Delirium mempunyai berbagai macam penyebab. Semuanya mempunyai pola gejala serupa yang berhubungan dengan tingkat kesadaran dan kognitif pasien. Penyebab utama adalah berasal dari penyakit susunan saraf pusat, penyakit sistemik, dan intoksikasi atau reaksi putus obat maupun zat toksik. Penyebab delirium terbanyak terletak diluar sistem saraf pusat, misalnya gagal ginjal dan hati.

Neurotransmiter yang dianggap berperan adalah asetilkolin, serotonin, serta glutamat. Area yang terutama terkena adalah formasio retikularis.

Faktor predisposisi terjadinya delirium, antara lain:

- Usia

- Kerusakan otak

- Riwayat delirium

- Ketergantungan alkohol

- Diabetes

- Kanker

- Gangguan panca indera

- Malnutrisi



Klasifikasi

Delirium dapat dibagi menjadi sub tipe hiperaktif dan hipoaktif, tergantung dari aktivitas psikomotornya. Keduanya dapat terjadi bersamaan pada satu individu.
a. Delirium hiperaktif
Delirium hiperaktif merupakan delirium yang paling sering terjadi. Pada pasien terjadi agitasi, psikosis, labilitas mood, penolakan untuk terapi medis, dan tindakan dispruptif lainnya. Kadang diperlukan pengawas karena pasien mungkin mencabut selang infus atau kathether, atau mencoba pergi dari tempat tidur. Pasien delirium karena intoksikasi, obat antikolinergik, dan alkohol withdrawal biasanya menunjukkan perilaku tersebut.
b. Delirium hipoaktif
Adalah bentuk delirium yang paling sering, tapi sedikit dikenali oleh para klinisi. Pasien tampak bingung, lethargia, dan malas. Hal itu mungkin sulit dibedakan dengan keadaan fatigue dan somnolen, bedanya pasien akan dengan mudah dibangunkan dan dalam berada dalam tingkat kesadaran yang normal. Rangsang yang kuat diperlukan untuk membangunkan , biasanya bangun tidak komplet dan transient. Penyakit yang mendasari adalah metabolit dan enchepalopati.



PATOFISIOLOGI

Patofisiologi dari delirium belum bisa diterangkan secara jelas. Delirium dianggap sebagai kelainaan umum otak, yaitu metabolism dan neurotransmitter (disfungsi bihemisferik). Beberapa jalur spesifik neural juga dianggap sebagai penyebab delirium, hal ini diketahui dengan adanya beberapa obat yang yang bekerja pada jalur spesifik neural (misalnya antikolinergik) dapat memicu terjadinya delirium.

• Banyak kondisi sistemik dan obat bisa menyebabkan delirium, contoh antikolinergika, psikotropika, dan opioida.
• Mekanisme tidak jelas, tetapi mungkin terkait dengan gangguan reversibilitas dan metabolisme oxidatif otak, abnormalitas neurotransmiter multiple, dan pembentukan sitokines (cytokines).
• Stress dari penyebab apapun bisa meningkatkan kerja saraf simpatik sehingga mengganggu fungsi cholinergic dan menyebabkan delirium.
• Usia lanjut memang dasarnya rentan terhadap penurunan transmisi cholinergic sehingga lebih mudah terjadi delirium. Apapun sebabnya, yang jelas hemisfer otak dan mekanisme (arousal mechanism) dari talamus dan sistem aktivasi retikular batang otak jadi terganggu.
• Terdapat faktor predisposisi gangguan otak organik: seperti demensia, stroke. Penyakit parkinson, usia lanjut, gangguan sensorik, dan gangguan multipel.



Manifestasi Klinis

Gambaran dapat bervariasi tergantung pada masing-masing individu. Mood,persepsi, dan tingkah-laku yang abnormal merupakan gejala-gejala psikiatrik umum; tremor, asteriksis, nistagmus inkoordinasi, inkontinensia urin, dan disfasia merupakan gejala-gejala neurologik umum.

a. Gangguan tingkat kesadaran
Adalah diagnostik karakteristik dari delirium. Pasien mungkin terjadi penurunan kewaspadaan dan kesukaran untuk berkonsentrasi. Kemampuan untuk menjaga dan memusatkan perhatian secara tepat dipengaruhi juga, sehingga pasien menjadi mudah dikacaukan dan tidak bisa mengindahkan rangsang.
b. Gangguan kognitif
Manifestasi dengan gangguan memori (bermasalah pada register dan proses dari informasi) dan gangguan fungsi eksekutif. Pasien mempunyai kesulitan dalam merencanakan tugas dan mengatasi masalah.
c. Gangguan persepsi dan sensori
Sering terjadi pada pasien muda. Bisa terjadi pada bentuk hiperaktif dan hipoaktif. Halusinasi yang terjadi biasan ya visual ( berbeda dengan halusinasi suara yang sering terjadi pada skizofrenia. Paranoid dan khayalan penyiksaan mungkin terjadi.

d. Gejala somatik
Predominan pada pasien tua. Termasuk inkontinensia urin, gangguan gait, tremor, gangguan bahasa, (reseptif atau ekspresif aphasia), dan gangguan tidur (pembalikan pola tidur, tidur ringkas, dan terpotong-potong)
e. Tanda neurologis fokal
Mungkin muncul, tapi dengan gangguan CNS. Tanda fokal diasosiasikan dengan CVA lama atau kondisi akut
f. Gangguan emosi
Mungkin terjadi labilitas mood dan depresi

Gambaran utama adalah gangguan kesadaran berupa kesadaran yang berkabut dengan penurunan kemampuan untuk memusatkan, mencantumkan, dan mengalihkan perhatian. Keadaan ini berlangsung beberapa hari dengan berkembangnya ansietas, mengantuk, insomnia, halusinasi yang transien, mimpi buruk, dan kegelisahan.

Pasien delirium yang berhubungan dengan sindrom putus zat merupakan jenis hiperaktif yang dapat dikaitkan dengan tanda-tanda otonom, seperti flushing,berkeringat, takikardi, dilatasi pupil, nausea, muntah, dan hipertermia. Orientasi waktu seringkali hilang, sedangkan orientasi tempat dan orang mungkin terganggu pada kasus yang berat. Pasien seringkali mengalami abnormalitas dalam berbahasa, seperti pembicaraan yang bertele-tele, tidak relevan, dan inkoheren.

Fungsi kognitif lain yang mungkin terganggu adalah daya ingat dan fungsi kognitif umum. Pasien mungkin tidak mampu membedakan rangsang sensorik dan mengintegrasikannya sehingga sering merasa terganggu dengan rangsang yang tidak sesuai atau timbul agitasi. Gejala yang sering nampak adalah marah, mengamuk, dan ketakutan yang tidak beralasan. Pasien selalu mengalami gangguan tidur sehingga sering tampak mengantuk sepanjang hari dan tertidur di mana saja.

Pemeriksaan status mental berguna untuk mengetahui adanya gangguan kognitif dan bagaimana perjalanan penyakitnya. Pemeriksaan laboratorium disesuaikan dengan keadaan klinis. Elktroensefalografi (EEG) pada delirium menunjukkan perlambatan aktivitas.

Patogenesis

Deskripsi perubahan neuropatologi terkait dengan delirium cukup rumit bergantung dari durasi sindrom terebut. Karena delirium dapat berujung pada demensia, makin lama durasi dari onset sampai ke saat kematian, makin besar pula kemungkinan perubahan patologis tersebut adalah demensia dan bukan delirium. Sebagai tambahan, terdapat banyak pendapat namun tidak menunjukkan perbedaan deskripsi faktor penyebabnya yang jelas. Pada banyak paparan agen spesifik (karbon disulfide, organophosphate, n-hexane), otak tetap terlihat normal. Agen toksik lain (timah, ethylene glycol, methanol) dapat menyebabkan edema, pada beberapa kasus (cyclosporine, timbal) terutama pada substansia alba. Stimultan (kokain, amphetamine) juga dikaitkan dengan infark, walaupun pada beberapa kasus hal ini disebabkan karena efek kardiovaskular yang ditimbulkannya. Perubahan mikroskopik dapat timbul, termasuk perdarahan (arsenic, timah), dan vaskulitis (amphetamine). Kerusakan neural bisa tampak jelas (merkuri, lithium), dengan efek tambahan pada pallidum dan kasus lain (methanol, karbon monoksida) atau pada serebelum pada kasus lain (ethanol, fenitoin). Gliosis (lithium, timbal) dan demyelinisasi (methrotrexate) juga bisa timbul. Kadang (kristal kalsium oksalat terkait dengan keracunan ethylene glycol), temuannya sangat spesifik. Literatur mengenai neuropatologi ini terbatas, kemungkinan karena bias pada pemeriksaan forensik (pembunuhan, penyakit iatrogenik) dan pendekatan yang lebih sistematis untuk mengamati kematian setelah delirium dapat menjadi sesuatu yang sangat berarti.

Biasanya delirium mempunyai muncul tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari). Perjalanan penyakitnya singkat dan berfluktuasi. Perbaikan cepat terjadi apabila faktor penyebabnya telah dapat diketahui dan dihilangkan.

Walaupun delirium biasanya terjadi mendadak, gejala-gejala prodromal mungkin telah terjadi beberapa hari sebelumnya. Gejala delirium biasanya berlangsung selama penyebabnya masih ada namun tidak lebih dari 1 minggu.



Diagnosis

emua pasien dengan tanda dan gejala gangguan fungsi kognitif perlu dilakukan pemeriksaan kondisi mental formal. Kemampuan atensi bisa diperiksa dengan:
1.Pengulangan sebutan 3 benda
2.Pengulangan 7 angka ke depan dan 5 angka ke belakang (mundur)
3.Sebutkan nama hari dalam seminggu ke depan dan ke belakang (mundur)
4.Ikuti kriteria diagnostik dari lCD-10 atau DSM-IV-TR
5.Confusion Assessment Method (CAM)
6.Wawancarai anggota keluarga
7.Penggunaan obat atau zat psikoaktif overdosis atau penghentian mendadak.

dapat dijabarkan sebagai berikut
a. Anamnesa
Anamnesis menjadi sulit pada pasien delirium. Pasien biasanya bingung dan tidak bisa bercerita, mereka sepertinya tidak mengenali masalah yang terjadi. Bisa dilakukann allow anamnesis pada keluarga dan teman dekat dan anamnesis harus focus pada poin-poin tertentu
b. Pemeriksaan fisik
Berguna untuk mengetahui adanya penyebab atau adanya tanda neurologis fokal. Confussion Association Method (CAM)menyediakan alat untuk menilai pasien delirium.
c. Riwayat penyakit dahulu
- Status mental dasar ( adakah penurunan kognisi progresif seperti demensia?)
- Riwayat delirium
- Riwayat cedera kepala atau terjatuh
- Obat – obatan
- Alkolhol
- Tanda vital mungkin mendasari masalah. Pada pemeriksaan fisik cari tanda – tanda infeksi, dehidrasi dan cedera kepala. Nilai adakah retensi urin atau feses.
- Short blessed test digunakan untuk mengetahui disfungsi kognisi dimana score lebih dari 8 abnormal.
Pemeriksaan passif pada perilaku pasien yang penting ditanyakan :
1. Aktivitas motorik : adakah aktivitas yang berlebihan misalnya mengamuk atau adakah aktivitas yang menurun ( retardasi psikomotorik? ).
2. Kesadaran : apakah pasien letargi, sejauh mana rangsangan yang dibutuhkan untuk menyadarkan pasien, berapa lama ?
3. Perhatian : dapatkah pasien mengalihkan perhatiannya ke rangsangan yang baru?
4. Kemampuan berbicara : apakah pasien merasa curiga atau delusi?

d. Etiologi
Penyebab utama dari delirium diantaranya infeksi saluran kemih,pneumonia,obstipasi,hipoksia,hiptensi relatif, obat-obatan khususnya antikolinergik tapi meskipun demikian terdapat multifaktor yang mendasari etiloginya.
e. Pemeriksaan laboratorium
Termasuk didalamnya pemeriksan elektrolit ( Ca dan BUN/Cr ), LFT dan CBC.rontgent torax untuk menyingkirkan pneumonia bila perlu. AGD,EKG,kadar alkohol dan screening toksikologi.
f. Pemeriksaan neuroimaging
CT kepala non kontras harus dilakukan bila terdapat defisit neurologi fokal atau bila ada riwayat trauma untuk menyingkirkan SAH. MRI diindikasikan untuk mengevaluasi stroke akut.
g. Lumbal punctie
Lumbal punctie untuk menyingkirkan meningoencephalitis diindikasikan untuk pasien dengan perubahan status mental yang tidak dapat dijelaskan. Misalnya,bila ditemukan demam,leukositosis atau tanda – tanda sepsis lainnya tapi belum ditemukan sumber infeksi.
h. EEG
Tidak dilakukan secara rutin. Yang ditemukan dari derilium biasanya tidak spesifik, aktivitas gelombang yang lambat dan difus.

Diagnosa Banding
Pemeriksaan status mental berguna untuk mengetahui adanya gangguan kognitif dan bagaimana perjalanan penyakitnya. Pemeriksaan laboratorium disesuaikan dengan keadaan klinis. Dari gejala khas diatas (onset yang cepat, perjalanan penyakitnya yang hilang timbul sepanjang hari dan berlangsung kurang dari 6 bulan), riwayat penyakit fisik dan otak yang mendasari (disfungsi otak) dan gambaran EEG berupa perlambatan aktivitas, maka diagnosis delirium patut dipercaya dan ditegakkan.
Delirium harus dibedakan dari penyakit atau sindrom mental organik lainnya yaitu demensia, gangguan psikotik/skizofrenia, depresi dan keadaan putus zat dengan delirium.
Demensia. Demensia dibedakan dari delirium yaitu dari onsetnya yang perlahan-lahan, lebih stabil dengan berjalannya waktu dan tidak berfluktuasi selama perjalanan sehari. Pada demensia penyakitnya bersifat kronik progresif dan disertai gangguan fungsi luhur/fungsi kortikal yang multipel berupa hendaya/deteorisasi fungsi intelaktual baik daya ingat atau daya pikir sehingga kegiatan sehari-hari menjadi terganggu. Tidak terdapatnya gangguan kesadaran juga membedakannya dari delirium. Gejala dan hendaya diatas harus sudah nyata untuk sekurang-kurangnya 6 bulan.
Gangguan psikotik/skizofrenia. Pada skizofrenia gejala berupa halusinasi dan waham biasanya lebih konstan dan terorganisasi dengan baik dibandingkan delirium. Juga, pada pasien skizofrenik biasanya tidak mengalami perubahan dalam tingkat kesadaran atau orientasinya.
Depresi. Pasien dengan gejala hipoaktif mungkin tampak agak mirip dengan pasien yang depresi berat tetapi dapat dibedakan atas dasar EEG. Pada umumnya, pasien dengan disfungsi kognitif yang berhubungan dengan depresi mempunyai gejala depresif yang menonjol dan lebih konstan dibandingkan dengan pasien delerium dan cenderung mempunyai riwayat episode depresif di masa lalu, pada pemeriksaan CT-Scan dan EEG normal.
Keadaan putus zat dengan delirium. Delirium tremens merupakan akibat dari putus alkohol secara absolut atau relatif pada pengguna dengan ketergantungan alkohol yang kronis. Keadaan ini disertai gaduh gelisah toksik yang berlangsung singkat tetapi membahayakan jiwa penderita. Gejala prodromal berupa insomnia, gemetar dan ketakutan, onset terjadi sesudah putus alkohol
yang biasanya didahului oleh kejang.

Penatalaksanaan

Bila kondisi ini merupakan toksisitas antikolinergik, digunakan fisostigmin salisilat 1-2 mg iv atau im dengan pengulangan dosis setiap 15-30 menit. Selain itu, perlu dilakukan terapi untuk memberi dorongan perbaikan pada fisik, sensorik, dan lingkungan.

Untuk mengatasi gejala psikosis digunakan haloperidol 2-10 mg im, yang dapat diulang setiap 1 jam. Insomnia sebaiknya diobati dengan benzodiazepin yang mempunyai waktu terapi pendek.
Antipsikosis berpotensi tinggi merupakan pilihan utama. Zat ini mempunyai efek antikolinergik yang sedikit dan jarang menurunkan ambang kejang dibandingkan dengan antipsikosis yang berpotensi rendah. Obat yang terpilih untuk mengatasi gejala psikosisnya adalah Haloperidol.
Tergantung pada usia, berat badan atau kondisi fisik pasien, dosis Haloperidol (Haldol, Serenace) awal dapat terentang 2 sampai 10 mg intramuskular dengan pengulangan setiap 1 jam, jika pasien tetap teragitasi. Penulis lain ada yang menganjurkan dosis 2 sampai 5 mg intramuskular, dapat diulang setelah 30 menit bila dosis pertama kurang efektif. Segera setelah pasien tenang medikasi oral dalam cairan konsentrat atau dalam bentuk tablet oral dapat dimulai. Untuk mencapai efek terapi sebaiknya dosis oral harus 1,5 lebih banyak dari dosis parenteral. Dosis efektif harian haloperidol terentang dari 5 sampai 50 mg untuk sebagian besar pasien.
Antipsikosis lebih jarang mempengaruhi fungsi kognitif pasien dibandingkan dengan benzodiazepin. Namun demikian golongan phenothiazin harus dihindari pada pasien delirium, karena obat tersebut disertai dengan aktivitas kolinergik yang bermakna.
Insomnia paling baik diobati dengan golongan benzodiazepine dengan waktu paruh pendek atau denganhidroksizin (Vistaril) dengan dosis 25 sampai 100 mg. Golongan benzodiazepine dengan waktu paruh panjang (misalnya lorazepam) harus dihindari kecuali digunakan sebagai pengobatan penyakit dasar (sebagai contoh pengobatan putus alkohol).
Pasien yang mengalami sindroma putus zat alkohol atau hipnotik-sedatif lebih efektif bila diobati denganLorazepam (Ativan) dengan dosis 1 sampai 2 mg peroral, intramuskular atau intravena lambat dan diulang setelah 1 jam seperlunya. Obat ini juga digunakan untuk pasien agitasi atau gaduh gelisah bila alergi/kontraindikasi terhadap antipsikosis. Lorazepam bekerja lebih efektif sebagai anti ansietas dari pada sebagai anti insomnia dan relatif aman untuk pasien-pasien dengan kelainan fungsi hati dan ginjal.
Bila delirium ini merupakan akibat dari toksisitas antikolinergik, bisa diberikan fisostigmin salisilat (Antilirium) dosis 1sampai 2 mg intravena atau intramuskular dengan pengulangan dosis setiap 15 sampai 30 menit.
PROGNOSIS
Biasanya delirium muncul secara tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari). Perjalanan penyakitnya singkat dan berfluktuasi. Perbaikan cepat terjadi apabila faktor penyebabnya dapat diketahui dan dihilangkan. Walaupun biasanya delirium terjadi mendadak, gejala-gejala prodromal mungkin telah ada sejak beberapa hari sebelumnya. Gejala delirium biasanya berlangsung selama penyebabnya masih ada namun tidak lebih dari satu minggu.
Prognosanya tergantung pada dapat diatasi atau tidaknya penyakit yang mendasarinya dan kemampuan otak untuk menahan pengaruh dari penyakit tersebut. Apakah delirium berkembang menjadi demensia belum dapat ditunjukkan dengan penelitian terkontrol yang cermat. Tetapi observasi klinis yang telah disahkan oleh suatu penelitian menunjukkan bahwa periode delirium kadang-kadang diikuti oleh depresi atau gangguan stres paskatraumatik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar